Di zaman modern ini, sudah sangat lazim jika melihat perempuan yang bekerja di luar rumah demi karirnya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan uang. Levelnya pun beragam, ada yang kerja di perusahaan besar dan ada pula yang hanya menjadi buruh pabrik. Tujuan mereka bekerja tidak lain atas dasar ingin menyamakan kedudukan perempuan layaknya laki-laki. Yang kini lebih dikenal dengan isu emansipasi atau kesetaraan gender. Sosok suami yang notabene-nya bertanggung jawab dalam menafkahi anak dan istrinya, seringkali penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Hal itulah yang mendorong sang istri untuk ikut bekerja seperti suami. Tak jarang pula sang istri merasa lebih bangga jika penghasilannya bisa menyetarai sang suami atau bahkan melebihinya.
Maka
munculah istilah “empowerment” atau bisa diartikan sebagai pemberdayaan
perempuan dengan sudut pandang finansial atau materi. Yang menyatakan bahwa
kesetaraan perempuan dengan laki-laki bisa diraih dengan indikator
uang/materi. Maka tak heran jika
segelintir perempuan rela menjadi TKW demi mengais rupiah di negeri orang.
Meskipun dengan resiko harus meninggalkan suami dan anak. Tak jarang pula nasib
mereka sungguh menderita.
Jika diteliti,
banyak sekali permasalahan yang muncul akibat banyaknya perempuan yang bekerja
diluar rumah, seperti tingginya tingkat perceraian dari tahun ke tahun,
maraknya anak-anak pecandu narkoba, seks bebas dan lain sebagainya. Mengapa
dampak tersebut juga menimbulkan persoalan pada anak? Itu semua disebabkan
karena kurangnya perhatian orang tua terutama ibu terhadap anaknya. Perempuan
yang merangkap peran sebagai ibu rumah tangga sekaligus berkarir acap kali
lalai akan tugasnya sebagai ibu dan istri, padahal sejatinya tugas perempuan
ialah mendidik generasi dan mengurus suaminya. Tak jarang ditemui perempuan
yang baru saja pulang kerumahnya dari tempat ia bekerja dalam keadaan lelah.
Hal ini merupakan salah satu pemicu kelalaian terhadap tanggung jawabnya didalam
rumah.
Usut punya
usut, gagasan “empowerment” yang berdampak besar tersebut didukung oleh
pemerintah. Dengan bukti dibentuknya Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Yang
beranggapan bahwa perempuan bisa berdaya jika dapat menghasilkan finansial
layaknya kaum pria. Padahal sejatinya hal tersebut menimbulkan kontradiksi
dengan kodrat perempuan itu sendiri. Yang berperan sebagai ummun warobatul
baitatau pengurus rumah tangga dan pendidik generasi.
Bahkan bila ditelusur pada fakta sejarah, RA Kartini yang sering dijadikan ikon
pemberdayaan perempuan, tidak melalui jalan ini dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu, “empowerment” tidak bisa dijadikan
parameter kesejahteraan perempuan. Finansialyang dihasilkan dari perempuan yang
bekerja justru tidak membuat perempuan menjadi bangkit. Bahkan kondisinya semakin
terpuruk. Maka kebangkitan lah yang harus dilakukan perempuan agar perempuan
benar-benar bisa dikatakan berhasil karena kembali kepada fitrahnya sebagai
ibu. Kebangkitan ini berupa kebangkitan pemikiran.Yaitu
saat perempuan merenungkan dan menemukan hakikat hidup di dunia ini secara benar.Hakikat hidup
ini berupa kesadaran akan asal, tujuan dan akan kemana
manusia dan kehidupan ini.
Bagi
yang berfikir rasional maka akan sampai pada kesadaran bahwa kehidupannya
berasal dari Pencipta dan tujuan hidup di dunia ini hanya untuk beribadah kepada
Sang Khaliq. Ibadah di sini mencakup makna yang luas, yakni menjalankan
seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Tak hanya sebatas menjalankan
ibadah ritual belaka. Tetapi juga memahami bahwa semua perbuatannya
diselaraskan dengan aturan dari Sang Khaliq.Sehingga seluruh langkah yang dilakukan tetap berada dalam koridor-Nya.
Perempuan dan laki-laki diciptakan
tidak ada perbedaan. Keduanya
memiliki derajat yang sama di hadapan Sang
Khaliq, hanya ketaqwaanlah yang
membedakan keduanya. Laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban yang sama
dalam hal
ibadah ritual, menuntut
ilmu,dakwah, dan lain
sebagainya. Terlepas dari
itu, laki-laki dan perempuan juga memiliki hak yang sama
dalam ber-mu’amalat
seperti Jual-Beli, dan Aqad-Aqad (perjanjian) lainnya. Akan
tetapi, menjadi berbeda jika hukum yang ditetapkan khusus bagi salah satu dari keduanya.
Lantas bagaimana kita menyikapi
berbagai fenomena kehidupan yang ada saat ini?
Saat ini
marak gagasansebagaimana yang diyakini sebagiankaum feminis yang
menyatakan bahwa perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga dianggap tidak
produktifdan mengekang. Hal ini berbeda jika dilihat dari
perspektif Islam. Islam justru
memandangnya sebagai
hal yang mulia dan menjanjikan pahala yang besar pada sosok ibu.
Meskipun peran ibu
merupakan kewajiban utama namun Islammengijinkan perempuan memiliki peran yang luas. Islam
masih membolehkan perempuan bekerja karena hukum asalnya mubah(boleh),
berkontribusi di tengah masyarakat, dan lain-lain. Tak hanya mengurusi rumah
tangga saja. Perempuan semestinya sadar akan perannya yang mulia ini. Hanya saja kemuliaan ini akan tercapai jika
didahului dengan langkah awal menuju kebangkitanhakiki, berupa kebangkitan pemikiran.
Oleh karena itu kami santri putri Pondok Pesantren Taruna Panatagama menyatakan bahwa :
1.
Mengkritisi dan menolak dengan tegas menjadikan gagasan pemberdayaan perempuan
sebagai solusi persoalan perempuan.
2.
Berupaya
mewujudkan kebangkitan yang hakiki bagi perempuan
yaitu melalui kebangkitan pemikiran. Yaitu kesadaran akan asal, tujuan dan akan
kemana kehidupan ini.
3.
Menyerukan kepada
segenap pihak, khususnya perempuan, untuk menjadikan kebangkitan pemikiran
sebagai langkah awal bagi
penyelesaian persoalan perempuan.
4.
Mengajak kepada segenap
pihak untuk menjadikan ketentuan syariat Sang
Khaliq sebagai solusi tuntas
persoalan kehidupan, salah satunya persoalan perempuan.
Pemberdayaan Menindas Wanita |
Perempuan Mulia dengan Kebangkitan Pemikiran Bukan dengan Pemberdayaan Wanita butuh Kebangkitan Pemikiran |
Sanpi kelas 9, 10, dan 11 mengadakan aksi di bundaran UGM |
Penyebar nasyroh terjun di jalanan untuk menyampaikan opini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar